Tamatnya Riwayat Alun-alun Bandung

Ada sebuah peristiwa penting di kota Bandung pada paruh pertama tahun 2003 ini yang berkaitan dengan tata kota, yaitu beralihfungsinya sebagian Alun-alun menjadi bagian dari perluasan ruangan Mesjid Raya Bandung dan sisanya menjadi halaman depan mesjid. Rumah ibadah yang secara tradisional menempati area sebelah barat Alun-alun, di kawasan Alun-alun Bandung sekarang diperluas ke Alun-alun yang semula adalah halaman pendopo dan terletak di tengah sebagaimana lazimnya jantung kota tradisional. Sebuah gebrakan yang cukup berani -meskipun dapat dikatakan terlambat dan tidak menyelesaikan kesemrawutan kawasan Alun-alun Bandung- untuk merubah atau menyesuaikan desain pusat kota tradisional Bandung dengan kondisi sekarang dan mungkin ke depan. Perluasan mesjid ke arah timur yang mencaplok jalan sekaligus Alun-alun memang jauh lebih praktis dan mungkin lebih 'murah' karena hanya memanfaatkan lahan milik pemkot berupa jalan dan Alun-alun yang mungkin gratis, dibanding membebaskan toko dan bangunan lain -yang makin lama akan makin mahal- di bagian barat dan samping yang menjepit bangunan mesjid lama. Akibatnya denah mesjid menjadi berbentuk T dengan garis horisonal di bekas jalan dan Alun-alun, sedang garis vertikal -denah mesjid lama- menjorok ke tengah 'pedalaman' dihimpit makam tokoh-tokoh Bandung lama dan bangunan pertokoan dan perumahan yang aksesnya melalui gang.

Perubahan ini -membebaskan bangunan disekitar mesjid- sebenarnya yang paling ideal untuk lingkungan mesjid dan kawasan Alun-alun yang mudah-mudahan dapat dilakukan di masa depan untuk membuat mimpi menghadirkan mesjid di Alun-alun yang monumental di bekas jantung kota Bandung benar-benar terwujud. Bila Mesjid Raya Bandung itu dimaksudkan untuk menjadi landmark Alun-alun, ia harus dipisahkan dari bangunan lain seperti pertokoan apalagi bangunan tua tak terpakai. Seindah apapun bagian depan atau wajah mesjid, selama bagian lain apalagi bagian mihrab di barat terjepit di bagian belakang pertokoan atau bangunan yang centang perenang, keindahan dan kemuliaan itu menjadi tidak pernah utuh. Apalagi bersebelahan dengan bangunan tua yang kosong dan kumuh (gedung Suarha di sebelah kanan mesjid yang dibiarkan terbengkalai kecuali lantai dasar), membuat kemegahan Mesjid Raya Bandung yang berbungkus marmer itu teredam dan bahkan menambah parodi kota.

Lingkungan (bekas) Alun-alun Bandung lalu memiliki elemen pusat kota yang dibangun pada zamannya masing-masing sekaligus menjadi kontradiksi satu sama lain: pendopo kabupaten yang sekarang menjadi rumah dinas walikota, menyisakan sepenggal sejarah Bandung tempo dulu yang tradisional pulau Jawa, sementara di seberangnya berdiri beberapa gedung kolonial yg makin pudar kewibaannya, apalagi berjajar dengan Menara BRI, bangunan perkantoran tertinggi di kawasan itu yang memakai langgam arsitektur kontemporer yang acuannya robot mainan anak. Di timur berdiri dua gedung pertokoan, Miramar, pusat pertokoan pertama di Bandung yang kini nasibnya mengenaskan dan Palaguna Nusantara. Kedua gedung itu -Suarha dan Miramar- seperti gelandangan kota dengan pakaian kucel dan kumuh berdiri tegak di sekitar mesjid, pendopo dan pusat perbelanjaan. Barangkali karena tidak lagi berperan sebagai pusat pemerintahan, kondisi itu dibiarkan demikian termasuk pemasangan billboard rokok ukuran raksasa pada jembatan penyeberangan tak jauh dari kawasan Alun-alun.

Berubahnya Alun-alun menjadi bagian mesjid dan halaman mesjid raya memang sah-sah saja selama perannya sebagai ruang terbuka di tengah kota masih terjaga. Karena Alun-alun itu telah lama berhenti berperan sebagai pusat kota dalam arti pusat pemerintahan. Bandung adalah pusat dua pemerintahan yang berbeda tingkat: Pemerintah Kota Bandung sendiri dan Propinsi Jawa Barat. Secara tidak langsung, terjadi pembagian fungsi Alun-alun di kota Bandung. Kawasan bekas Alun-alun Bandung menjadi kawasan perdagangan dan perkantoran, Balai Kota untuk kantor pemkot, sedangkan Alun-alun dalam arti tradisional -lapangan luas tempat berkumpulnya masyarakat terutama untuk menyaksikan hiburan- terkonsentrasi di Gasibu depan Gedung Sate. Alun-alun Bandung hadir dengan vitalitas perdagangan yang sibuk dihiasi segala ikon ekonomi khas kota Indonesia: kontradiksi antara mesin kapitalis yang direpresentasikan dengan pusat perbelanjaan di gedung jangkung ber-AC dan berelevator dengan tempat parkir berlantai-lantai, dengan ekonomi kelas kaki lima dan beca, sementara Gasibu hampir secara rutin menjadi Alun-alun tempat warga kota menikmati hiburan dan pasar kaget pada hari Minggu.

Menara Kembar
Mesjid ini konon memakai mesjid Medinah sebagai model, terutama dengan adanya menara kembar yang selain berperan sebagai penanda mesjid -selain tiga kubah yang tidak seluruhnya dapat dilihat dari semua arah- juga menjadi tempat wisata seperti monas di Jakarta: tempat memandang seantero kota Bandung, termasuk centang perenangnya atap-atap bangunan, kabel listrik dan telepon, sampai batas-batas alamnya seperti Gunung Tangkuban Perahu di utara. Menara ini dapat menjadi media untuk melihat bukti bahwa Alun-alun Bandung pernah berperan sebagai jantung kota, karena dari situ terlihat bentangan jalan yang lurus dari barat ke timur: Sudirman-Asia Afrika-Gatot Subroto; Cibadak-Dalem Kaum-Lengkong Kecil; dari utara ke selatan: Banceuy-Sartika, seluruhnya terpusat ke Alun-alun.

Meskipun telah diperluas dengan menggunakan lahan Alun-alun, Mesjid Raya Bandung baru dapat dikatakan selesai bila bangunan toko di kedua sisinya dan juga di sebelah baratnya dibebaskan -paling tidak sampai lokasi Pasar Kota Kembang- untuk dialihfungsikan menjadi taman mesjid atau ruang antara yang memisahkan bangunan mesjid dengan bangunan lainnya. Sebuah cita-cita yang barangkali bukan hal yang berat bagi masyarakat yang konon memiliki kesadaran religius tinggi dengan segala ironi yang melekat padanya. Ada contoh bagus tentang mesjid raya: Kota Tasikmalaya memiliki mesjid raya dengan tata letak yang berhasil membuatnya menjadi landmark dan pusat kota sekaligus kebanggaan warga: dikitari jalan yang membuat sekeliling bangunan mesjid terlihat dan relatif terpisah dari dunia profan dan karenanya hadir monumental dan anggun, seperti seharusnya sebuah tempat untuk memuliakan Tuhan.

Masa Silam Alun-alun

Sejak Bandung terbagi ke dalam dua bentuk pemerintahan yang setara, Kotamadya dan Kabupaten, Alun-alun Bandung menjadi tidak berperan lagi sebagai jantung kota Bandung dalam arti tradisional yaitu pusat pemerintahan yang juga pusat perdagangan. Alun-alun Bandung sekarang identik dengan pusat perbelanjaan, Kantor Pos Besar, dan Mesjid Agung yang sekarang menjadi Mesjid Raya Bandung. Jantung kota Bandung berpindah ke dua tempat, Soreang sebagai ibu kota kabupaten dan Balaikota di utara yang dikitari jalan Merdeka, Aceh, Perintis Kemerdekaan dan Wastukancana. Balai Kota sendiri adalah istilah yang relatif baru -mungkin diambil dari bahasa Inggris City Hall- untuk menunjuk kantor wali kota. Bila pendopo mengacu pada pemerintahan kabupaten atau kantor bupati, maka Balai Kota mengacu pada pemerintahan Kotamadya (sekarang Pemerintah Kota).

Sudah sejak lama pula, bentuk Alun-alun Bandung bukan lagi alun-alun dalam pengertian tradisonal. Bentuk alun-alun sesungguhnya berupa lapangan luas, tidak dihiasi atau ditanami kembang di dalamnya, paling pohon beringin di keempat sudutnya. Alun-alun semula adalah lapangan tempat berkumpul masyarakat menyaksikan hiburan di depan pendopo. Menurut Haryoto Kunto (1986) kerumunan masyarakat di lapangan itu dilihat dari panggung tempat pembesar duduk seperti ombak laut (alun), dari situ muncul istilah Alun-alun. Perkembangan selanjutnya, di sekitar alun-alun juga berkembang pasar dan ketika Islam masuk Pulau Jawa, kawasan alun-alun dilengkapi dengan bangunan mesjid di sebelah barat.
Pertimbangan sosial budaya yang sifatnya preventif barangkali menjadi salah satu alasan digabungkannya Alun-alun menjadi bagian dari mesjid, mengingat kawasan Alun-alun- yang hanya terpisah oleh jalan dengan mesjid- sejak lama menjadi tempat wanita penjaja seks kelas bawah beroperasi mencari pembeli pada sore dan malam hari. Dengan digabungkannya Alun-alun menjadi halaman langsung mesjid, semoga ironi itu akan hilang. Tapi kota memang menciptakan beragam ironi. Dan warga harus hidup dengan itu.

Pemakaian lahan Alun-alun untuk perluasan Mesjid Raya Bandung dapat dilihat sebagai upaya melestarikan kondisi Bandung yang kondusif. Meskipun dari segi visual, bila dilihat dari lantai atas gedung pertokoan terdekat, Mesjid Raya itu kehilangan aspek monumentalnya karena menjadi sekedar lapangan beton berbentuk T dengan tiga kubah dan dua menara. Resiko suatu bangunan yang berdekatan dengan bangunan lain yang lebih tinggi. Harus ada upaya lebih untuk mengolah atap beton itu menjadi sesuatu yang lebih nyaman dipandang dari lantai atas pusat perbelanjaan atau dari menara kembarnya sendiri, termasuk membuatnya memiliki jarak yang cukup dengan bangunan lain.

Jamaludin Wiartakusumah
Alumnus Program Magister Desain ITB
Dosen Desain Itenas Bandung

dimuat Koran Tempo Minggu 27 Juli 2003

h o m e
1