Resensi
Wajah Arsitektur Indonesia Modern

indonesian architecture now
Imelda Akmal
Photo: sonny sandjaya
Penerbit Borneo Jakarta, 2005
Isbn: 979-99472-0-0
i-xiv, 154 halaman.


Berbeda dengan karya Imelda Akmal terdahulu yaitu seri menata rumah seputar (contoh) penataan ruang-ruang di dalam rumah, buku indonesian architecture now ini menggarap karya yang lebih luas lingkupnya: mendokumentasikan karya arsitektur modern Indonesia.
Karya arsitektur dalam buku ini dibagi ke dalam kategori rumah (house), rumah kecil (small house), hotel di tempat wisata (hotels and resorts), bangunan publik dan komersial (commercial and public buildings). Lokasi bangunan tersebar di Jakarta, Cinere, Bekasi, Cibubur, Semarang, Cipanas Puncak, Cihanjuang dan Dago Pakar Bandung. Tentu saja kebanyakan berada di dan seputar Jakarta sebagai barometer kemajuan negeri ini. Sementara arsiteknya kebanyakan berusia muda dan penggagas kelompok Arsitek Muda Indonesia (AMI) yang tentu saja kebanyakan juga orang Jakarta, seperti Andra Matin, Sardjono Sani, Budiman Hendropurnomo, Yori Antar, juga terdapat nama konsultan kenamaan seperti Grahacipta Hadiprana dan DCM (Denton Corker Marshall, konsultan arsitektur yang berpusat di Australia -dulu versi Indonesianya adalah Duta Cermat Mandiri). Beberapa dari arsitek tersebut lulusan luar negeri dan bekerja pada konsultan 'franchise' seperti DCM. Nama-nama mereka dicantumkan pada sampul belakang buku.

Bahwa arsitektur tidak harus mahal dapat ditemukan pada buku ini. Misalnya karya arsitek dari Bandung, Tan Tjiang Ay berupa rumah berdinding plester tanpa cat dan lantai dari plesteran semen di Cihanjuang Bandung sebagai upaya mendesain dengan biaya rendah. Juga rumah ekonomis dengan struktur baja telanjang, dinding dari lembaran metal dan kaca karya Achmad Djuhara di Bekasi.

Setiap foto dilengkapi penjelasan singkat termasuk masalah teknis seperti aliran udara, bukaan (jendela, pintu, sky light) sebagai sumber cahaya ruangan siang hari. Saya kira, ungkapan dalam jurnalistik bahwa foto berbicara lebih dari seribu kata, dalam buku arsitektur sangat terasa, karena arsitektur -seperti bidang desain umumnya- hadir dalam bentuk rupa atau bentuk. Foto bangunan menggambarkan bentuk jadi suatu denah bangunan yang dua dimensi.

Buku dwi-bahasa -Indonesia dan Inggris- ini diawali oleh tulisan dari (Dr.) Iwan Sudrajat -dosen Arsitektur ITB- yang mengurai perjalanan arsitektur kontemporer Indonesia sejak awal tahun 1950-an hingga 1990-an, yaitu sejak berdirinya jurusan arsitektur pertama di perguruan tinggi Indonesia (ITB) hingga sekarang, lengkap dengan cerita pembangunan (tentu saja) Jakarta sebagai ibu kota yang digagas Ir. Sukarno, presiden RI pertama yang dilaksanakan oleh gubernur Ali Sadikin. Apa yang diungkap Iwan Sudrajat tentu diharapkan dapat membantu pembaca menelusuri secara ringkas perkembangan arsitektur modern Indonesia yang beberapa karya mutakhirnya muncul di buku ini.

Barangkali karena Bali primadona wisata Indonesia Foto-foto hotel dalam buku ini semua berlokasi di Bali yang tersebar di tiga lokasi: Nusa Dua, Ubud dan Kuta, dan contoh hotel itu berada dalam langgam yang khas tempat wisata dengan langgam Bali dan ciri bangunan tropis sebagai acuan utama. Sementara gedung komersial seluruhnya berlokasi di Jakarta, termasuk gedung E.X Plaza Indonesia yang -katakanlah- bergaya 'dekonstruksi' berupa beberapa kotak empat persegi panjang dijajarkan dengan posisi tumpang tindih dengan jendela-jendela yang tidak lazim dengan balutan warna-warna menyala.

Arsitektur Indonesia modern ini -setidaknya menurut karya di buku ini- berarti sebuah bangunan yang mempunyai kesamaan ekpresi dengan karya arsitektur modern dari belahan dunia barat darimana langgam modernisme berawal termasuk perabotan berupa ikon desain modern seperti kursi Barcelona karya Mies van de Rohe, Wassily karya Marcel Breuer atau kursi B306 chaise-lounge karya Le Corbusier dan lounge chair karya Charles Eames -beberapa nama besar dalam arsitektur modern- dengan konteks negeri tropis.

Model arsitektur sekolahan ini pada gilirannya sukses menggeser arsitektur tradisional ke pinggiran dan baru digali kembali manakala pariwisata dan pemda butuh identitas (budaya bangunan) lokal. Ciri utama langgam arsitektur modern adalah melepaskan diri dari desain masa lalu, hingga pada bentuknya yang ekstrim sering menciptakan keterasingan bagi penghuni karena minimnya referensi masa lalu.
Terlepas dari efek samping Modernisme seperti yang diungkap Robert Venturi, upaya Imelda Akmal layak dihargai tinggi: mengangkat karya arsitek Indonesia ke wilayah yang lebih luas seperti yang telah lama dilakukan penulis luar, apalagi karena terbitan lokal buku jenis ini masih langka.

Mang Jamal
Novelis, alumni ITB & dosen Itenas

Dimuat di MATABACA Februari 2006

kembali