Mamat B. Sasmita,
Membuka Rumah Baca Untuk Masa Pensiun
Berbeda dengan umumnya para calon pensiunan yang mencari kegiatan lain
yang berciri bisnis, menjelang pensiun dua tahun lagi, Mamat B. Sasmita,
karyawan Telkom pusat kelahiran Tasikmalaya tahun 1951 ini, membuka
Rumah Baca. Bermula dari kesukaannya sejak kecil terhadap buku membuatnya
rajin mengoleksi berbagai buku berbahasa Sunda, Indonesia dan Inggris.
Salah satu alasan ia mengumpulkan buku-buku berbahasa Sunda adalah karena
ketika waktu ia kecil dulu, satu-satunya hiburan adalah dongeng atau
cerita yang disampaikan oleh kedua orangtuanya dalam bahasa Sunda. Waktu
berusia tiga tahun dibawa ayahnya hijrah ke Bandung. Sepulang kantor,
sang ayah yang bekerja di Dinas P & K Bandung, sering mendongeng
yang ia hapal atau membacakan cerita dari buku-buku berbahasa Sunda
seperti Wawacan Purnama Alam -buku klasik bahasa Sunda- yang membacanya
sambil dinyanyikan. Sedangkan ibunya, sering bercerita setelah magrib
menjelang isya.
Umumnya cerita nabi yang beberapa dibaca dari buku berhuruf Arab tapi
dalam bahasa Sunda.
Tugasnya di Telkom membuat ia sering berpindah-pindah. Ketika bertugas
di Mataram, kecintaannya pada buku selain terus ia pupuk, ia juga bagi
kepada lingkungannya tinggal. Ia titipkan buku-buku koleksinya pada
tetangganya untuk dibaca siapa saja terutama anak-anak. Setelah kembali
ke Bandung, kegemarannya terhadap buku juga ia bagi ke masyarakat di
pedesaan Jawa Barat melalui salah satu program Yayasan Perceka, yayasan
yang ia dirikan bersama rekannya di milis KUSnet (Komunitas Urang Sunda
di Internet, milis urangsunda@yahoogroups.com). Program itu bernama
Pabukon Simpay Katresna (Perpustakaan Tali Asih) yang baru tersebar
di 15 tempat bekerja sama dengan jaringan 1001buku. Caranya seperti
yang ia lakukan dulu di Mataram, menitipkan buku-buku di sebuah rumah
untuk dibaca anak-anak di sekitarnya.
Rumah Baca
Karena koleksi buku-buku di rumah lumayan banyak, Ua Sasmita -demikian
ia biasa dipanggil- merasa sayang kalau koleksinya itu hanya dibaca
oleh keluarganya saja. Pada bulan Pebruari 2004 ia memasang papan nama
"Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana" di depan rumahnya.
Kata jeung sajabana artinya 'dan sebagainya'. Ia pilih nama itu mengingat
koleksi bukunya tidak hanya dalam bahasa Sunda tetapi banyak juga yang
dalam bahasa Indonesia -yang membahas mengenai kebudayaan Sunda maupun
tidak, sedikit Inggris dan buku antik berbahasa Belanda yang ia dapatkan
di Pasar Suci Bandung. Buku berbahasa Belanda terutama yang berhubungan
dengan Jawa Barat masa lalu termasuk tanaman dan lingkungan. Koleksi
bukunya terdiri dari kumpulan cerita pendek, novel, puisi, wawacan,
biografi, cerita pantun, bacaan anak-anak, dan buku non-fiksi.
Ada tetangganya yang memberi komentar kenapa menggunakan dua bahasa:
Rumah Baca Buku Sunda bahasa Indonesia, Jeung Sajabana bahasa
Sunda. Ua Sas menjawab dengan nada bercanda, Jeung Sajabana itu adalah
nama rumah baca itu! Baginya, konsep Rumah Baca agak berbeda dengan
Taman Bacaan. Rumah Baca ia maksudkan untuk membaca bersama-sama di
tempat itu, gratis tapi tidak dipinjamkan untuk dibawa pulang. Tapi
bila memang perlu sekali Ua Sasmita bersedia meminjamkan tapi tentunya
tidak kepada sembarang orang. Sedangkan Taman Bacaan -istilah yang sudah
lebih dulu ada, menurutnya, buku-bukunya memang dipinjamkan dengan cara
sewa, jadi Taman Bacaan sebenarnya adalah tempat menyewa buku, tidak
benar-benar atau jarang sekali jadi tempat untuk membaca dan gratis.
Umur rumah baca ini telah satu tahun. Bertempat di ruang tamu rumah
tinggalnya yang dirubah jadi perpustakaan dengan beberapa rak buku di
tepi dinding di komplek perumahan Margawangi, hanya terpaut seratus
meteran dari rumah Kang Ibing 'Si Kabayan' Kusmayatna. Umumnya yang
datang sengaja ingin mencari buku-buku Sunda termasuk murid-murid sekolah
yang mencari sajak dalam bahasa Sunda (sepertinya ditugaskan gurunya
di sekolah). Kadang-kadang pengunjung jenis ini sampai luber ke teras
rumah. Pengunjung yang berusia di atas 50 tahunan yang datang umumnya
untuk mencari buku berbahasa Sunda klasik atau yang pernah mereka baca
ketika duduk di SD dulu. Ya, untuk keperluan nostalgia pada masa awal
pendidikan mereka di sekolah dasar dulu. Menurut Ua Sasmita yang memiliki
satu putri kelas 2 SD ini, pengunjung senior itu bila dilihat dari buku
bacaan bahasa Sunda yang dulu mereka baca di SD, dapat digolongkan dengan
angkatan Rusdi jeung Misnem (Rusdi dan Misnem), angkatan Gandasari dan
angkatan Taman Pamekar. Ketiga buku pelajaran bahasa Sunda itu dalam
tiga kurun waktu yang berbeda, beredar luas di sekolah dasar di Jawa
Barat (termasuk Banten). Rusdi jeung Misnem adalah buku bacaan yang
boleh dibilang paling awal di SD dahulu. Pernah ada seseorang yang telah
lanjut usia berkeliling dengan sepeda di komplek perumahan Margawangi
sambil melirik-lirik papan nama Rumah Baca. Mamat B. Sasmita
menyapanya. Ternyata sang Bapak Tua itu ingin melihat buku dan tentu
saja langsung dipersilahkan masuk. Yang pertama ia tanyakan ternyata
buku Rusdi jeung Misnem yang langsung Ua Sas cari di rak dan diserahkan
fotokopinya -yang asli sudah tidak ada. Si Bapa Tua langsung membacanya
dengan antusias, beberapa bagian masih ia ingat dan hapal!
Koleksi terbanyak Rumah Baca ini adalah buku-buku berbahasa Sunda yang
Ua Sasmita koleksi sejak lama untuk mengobati kerinduannya ke kampung
halaman ketika bertugas di berbagai tempat di Nusantara. Salah satu
alasannya adalah bahwa buku-buku Sunda klasik sudah mulai sulit mencarinya.
Ia menilai toko buku yang menjual buku bahasa Sunda seperti kurang serius.
Di toko buku besar seperti Gramedia, buku-buku bahasa Sunda juga dijual,
hanya mencarinya harus teliti karena bila tidak hapal tempatnya kadang-kadang
tidak dtemukan.
Buku berbahasa Sunda yang sering dipinjam diantaranya adalah tiga buku
klasik di atas, sedang buku cerita/novel adalah Carmad, Sri Panggung,
Rusiah nu Goreng Patut (Rahasia yang Bertampak Jelek, cerita Garnadi
Bandar Kodok yang pernah sangat terkenal di masyarakat Sunda, malah
sempat dibuat lagunya). Ada juga yang meminjam buku kumpulan sajak,
bacaan anak-anak seperti Nyaba Ka Leuweung Sancang (Mengembara ke Hutan
Sancang), Guha Karang Legok Pari (Goa Karang Legok Pari) dan beberapa
yang lain. Buku berbahasa Indonesia yang laku dibaca pengunjung adalah
novel, biografi, sejarah serta filsafat. Sementara novel Salman Rushdie
jarang yang menjamah, mungkin karena tebal dan sempat menghebohkan dunia.
Buku Antik
Selain buku-buku terbitan ulang yang relatif baru, Rumah Baca ini juga
mengoleksi buku antik. Koleksi buku tertua yang dimiliki Rumah Baca
ini adalah Dictionary of Sundanese Language of Java karya Jonathan Rigg
yang terbit tahun 1862 atau
143 tahun lalu! Di sampulnya tertera
penerbitan kamus ini didukung oleh Batavia Society of Science, mungkin
semacam himpunan ilmuwan Jakarta waktu itu. Selain itu tiga jilid buku
-seluruhnya empat jilid dalam bahasa Belanda tentang catatan perjalanan
orang Belanda karya De Hans. Koleksi lain yang tergolong antik adalah
Kamus Belanda-Sunda karya Colsma dan satu buku karya Pleyte, orang Belanda
yang meneliti sejarah Sunda.
Cita-cita Ua Sasmita membuka Rumah Baca menjelang pensiun ini tidaklah
muluk-muluk, selain untuk mengisi waktu luang nanti di kala pensiun,
ia juga ingin sekedar mengajak tetangga atau lingkungannya membaca buku-buku
yang ada dan berharap sedikit banyak ada manfaatnya.
Alamat Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana
Komp. Perumahan Margawangi, Jl. Margawangi VII no 5 Bandung
Telp. 022 7511914, e-mail: matsasmita@yahoo.com
(MJ)
dimuat di MATABACA Mei 2005