Bentuk rumah merupakan pilihan dan keputusan dari berbagai pertimbangan
seperti geografis, iklim, material dan teknologi yang ada, seni, pandangan
hidup dan kosmologi berdasarkan sistem kepercayaan yang dianut. Pilihan
terhadap suatu bentuk bangunan yang bersifat tetap ini memiliki keunikannya
sendiri hingga disebut gaya atau langgam (James C. Snyder,1991). Ciri-ciri
umum suatu gaya dapat dikenali lewat rupa yang terlihat seperti bentuk
atap, pemakaian material, arah orentasi, pembagian ruang serta caranya
dihubungkan dengan tanah, ornamen dan sebagainya yang semuanya memberi
identitas bangunan sekaligus kebudayaan dari komunitas yang menciptakannya.
Seperti rumah gaya Sunda yang dibangun terus-menerus pada masanya di
tatar Sunda menjadi tradisi dan identitas rumah Sunda.
Di dalam rumah Sunda dikenal adanya pembedaan ruang untuk fungsi dan
pemakai. Pembedaan ruang ini ditentukan oleh nilai yang berlalu termasuk
perbadaan peran penghuni yang secara alami dibedakan menurut jender,
antara ibu (perempuan) dan laki-laki (ayah). Area depan seperti tepas
( teras dan ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang pawon
(dapur) dan goah (gudang gabah) adalah wilayah perempuan.
Ruang-ruang umum seperti ruang tengah bersifat netral karena merupakan
ruang tempat berkumpul keluarga. Meskipun terjadi perubahan pada bentuk
dan material bangunan, kondisi pembagian ruang ini masih tampak di desa
ibu-Ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ke ruang tamu.
Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan
dengan dapur, kamar tidur orangtua diletakkan di belakang kamar anak
dengan maksud agar anak-anak dapat terawasi orangtua.
Ciri paling menonjol
Atap atau hateup adalah bagian rumah tradisional di negeri ini yang
dapat dengan mudah dibedakan dan menjadi ciri paling menonjol. Bentuk
hateup (atap) gaya Sunda yang paling sederhana dan banyak dipakai adalah
jolopong yang hanya memiliki dua bidang atap berbentuk sama (model pelana).
Atap parahu kumureb adalah atap berbentuk trapesium. Beberapa yang unik
adalah atap julang ngapak, berdasarkan bentuknya yang mirip seekor burung
julang tengah merentangkan sayap seperti yang terdapat di kampung Naga
dan desa Papandak Paseh Garut (Haryoto Kunto,1985:271), Tagog anjing
atau jogo anjing adalah atap bangunan yang bila dilihat dari samping
tampak seperti anjing yang berbeda sedikit dengan bentuk badak heuay
(badak menguap). Beberapa bentuk atap lainnya tampak relatif sama dengan
di tempat lain termasuk dalam penggunaan material alam seperti ijuk
atau alang-alang untuk bagian penutup atap. Sementara material yang
dipakai bersumber pada ketersediaan di lingkungan yang umumnya berupa
batu, kayu dan bambu. Semua rumah gaya Sunda ini berbentuk panggung,
memiliki kolong sehingga udara juga mengalir di bawah rumah.
Jenis kayu yang tumbuh di tatar Sunda seperti jeungjing, ki hujan,
jati, suren dan bermacam bambu (bitung, awi tali, bambu hitam) dipakai
untuk konstruksi bangunan yang berbeda sesuai dengan sifat material
itu. Kayu yang paling kuat tentulah dipakai sebagai bagian konstruksi
utama seperti tiang yang menjejak batu tatapakan. Sementara untuk pintu
selain jati juga menggunakan suren dan jengjen. Untuk dinding digunakan
bambu bitung atau bambu tali (awi tali) yang dianyam menjadi bilik.
Komunitas orang Sunda
Ijuk atau alang-alang yang tipis yang tipis dirangkai menjadi penutup
atap yang dapat menahan air hujan. Bilik dari anyaman bambu yang tipis
dipakai untuk dinding. Semua itu hanya dimungkinkan oleh dukungan tata
nilai yang berlaku. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung
dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat
perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah di komunitas
orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi
semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Sebagai pembentuk rumah, material juga sekaligus pengungkap citra rumah
karena paling mudah dikenali. Itulah sebabnya, cara sekarang untuk membuat
rumah berciri tradisional ditandai dengan pemakaian material yang dahulu
dipakai, misalnya menggunakan ijuk untuk atap dan bilik untuk dinding
walaupun hanya untuk membungkus dinding bata.Meskipun demikian, tentu
saja material hanyalah media untuk mewujudkan nilai-nilai yang dimiliki
dalam hubungannya dengan hunian yang dapat berubah dari waktu ke waktu
sesuai dengan kemampuan teknologi yang menyertainya.
Rumah orang Sunda dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model
tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam
bentuk dan model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani
hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah
itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah
Sunda.Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik
materi ada nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat
fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah
beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia
dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan
nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup.
Jamaludin Wiartakusumah
alumni Desain ITB, dosen Desain Itenas
Dimuat Kompas Jawa Barat, Jumat, 3 Maret 2005