Vian

 

            Vian bener-bener nggak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya saat ini. Ia mendapati dirinya berada di depan sebuah cermin, dimana ia bisa menatap dirinya sendiri yang tiba-tiba berubah menjadi begitu cantik. Bahkan ia merasa lebih kaget lagi saat ia melihat ke dalam kaca bahwa ia memakai baju pengantin yang berwarna putih. Semua tiba-tiba menjadi kabur dalam ingatannya, yang ia ingat hanyalah ibunya yang tergolek sakit di tempat tidur. Ia pun serta merta berlari ke kamar ibunya, dan benar, ia mendapati ibunya yang sedang sakit keras berada di tempat tidurnya. Dengan langkah lunglai ia mendekati ibunya.

            “Bu, maafkan aku, aku tidak bisa melakukan semua ini…”, katanya dengan penuh penyesalan. Ibunya yang tergolek lemah di

tempat tidur dengan perlahan bertanya kepadanya.

 “Kenapa, bukankah kamu sudah menyetujui semuanya?”

“Aku tetap nggak bisa, Bu! Maafkan aku sekali lagi,” katanya dengan penuh harap.

Ibunya yang masih ingin tahu apa yang terjadi kepadanya pun bertanya kepadanya.

“Kenapa kau memutuskan ini sekarang, sudah terlambat Vian”, kata ibunya.

“Karena tiba-tiba aku merasa bahwa aku masih punya pilihan sebelum semuanya terlambat, Bu. Aku mohon, aku benar-benar menganggap Mas Reza itu sebagai kakakku sendiri, aku tidak bisa mencintainya sebagai seorang laki-laki. Sejak kecil kami tumbuh bersama, Bu. Aku menyetujui semua usul ibu dan Bu Wida, ibunya mas Reza, pun semuanya demi kesehatan ibu, bahkan aku yakin kalau Mas Reza mau melakukan semua ini juga dengan alasan yang sama. Aku yakin dia juga tidak bisa mencintaiku sebagai seorang wanita, aku hanyalah adiknya. Perasaan yang tumbuh diantara kami pun lebih luhur dari sebuah perasaan cinta yang paling tulus, karena aku begitu tulus menyayanginya hanya sebagai kakakku. Aku mohon Bu, batalkanlah semuanya. Aku akan melakukan apapun kecuali menikah dengan Mas Reza asal ibu sehat. Maafkan aku…”. Vian pun akhirnya berhasil mengatakan semuanya.

“Vian, akhir-akhir ini ibu sering juga bertanya kepada diri ibu sendiri, apakah semua yang sudah ibu lakukan ini sudah benar, ibu merasa bahwa ibu sudah terlalu memaksamu untuk menikah dengan Reza. Ibu pun menyiapkan mental ibu sendiri jika suatu saat kau akan mengatakan ini semua. Ibu pun sudah menganggap Reza seperti anak ibu sendiri. Ibu sendiri yang terlalu egois. Selama ini kalian yang benar, walaupun ibu tahu bahwa perasaan yang tumbuh diantara kalian ini hanya sebuah rasa persaudaraan, tapi ibu tetap memaksamu. Ini semua ibu lakukan agar kau bahagia, Vian. Ibu  takut nantinya kau akan merasa sendirian jika ibu meninggal nanti, kau tahu kan, semua saudaramu telah menikah dan ayahmu juga telah lama meninggal.”

 Vian sangat terharu mendengar semua alasan ibunya, ternyata semua ini dilakukan ibunya juga untuk kebaikan dirinya, namun ia juga lega karena ibunya telah mengerti semua alasan yang telah dikemukakannya.

“Lalu, bagaimana Bu, semua tamu undangan sudah datang, bahkan Vian juga sudah memakai gaun pengantin putih ini. Vian tidak mau mengecewakan mereka, Vian juga harus memberitahu Mas Reza tentang semuanya dan Vian yakin dia akan mengerti.”

Ibunya kemudian berkata kepadanya:

“Panggil Bu Wida dan semua saudara kita, Vian. Dan untuk sementara carilah Reza, katakan padanya ibu ingin bicara setelah ibu bicara dengan ibunya dan semua saudaranya. Ibu mohon jangan kamu katakan dulu padanya tentang semua ini.”

“Baiklah, Vian pergi dulu, Bu”, pamit Vian pada ibunya.

Vian keluar dari kamar itu dan memanggil calon mertuanya dan semua saudaranya agar bersedia menemui ibunya, namun ia tidak menemukan Reza dimana-mana, sementara keluarga Reza sudah pergi ke kamar ibunya. Ibu Wida tadi berkata bahwa Reza sedang mengepas baju pengantin di kamar Raras, kakak Vian. Vian pun bergegas menuju kamar Raras dan menemukan Reza sedang dibantu seorang perias untuk memakai baju pengantinnya. Vian pun berkata kepada sang perias.

“Bu, maaf, saya harus bicara dengan mas Reza,”

Sekonyong-konyong sang perias pun berkata kepadanya:

“Aduh mbak Vian kok kesini sih? Ora ilok kata orang Jawa, nanti aja kalo mau ketemu mas Reza, pokoknya nanti sip deh!!” kata sang perias dengan sewotnya.

“Enggak kok bu, ini nggak lama. Saya Cuma ingin bicara dengan mas Reza sebentar,” kata Vian tanpa mempedulikan ucapan sang perias.

Akhirnya dia pun mengalah dan pergi meninggalkan kamar itu.

“Ada apa sih, Vi? Kok kayaknya penting banget!” kata Reza.

“Anu mas, kamu dipanggil ibuku,” katanya meragu.

“Cuman bilang mau dipanggil ibu kok harus kamu yang nyampein? Kan kamu bisa suruh si Rama?” Reza merasa keheranan.

“Aku harus menyampaikan ini sendiri, karena aku ngga mau orang lain tahu tentang masalah ini,” Vian menunduk lesu.

Reza yang sudah mulai merasa ada sesuatu yang tak beres, langsung berkata kepadanya.

“Ada masalah penting? Apa yang terjadi? Katakan Vi!!” desak Reza.

“Aku nggak bisa mengatakannya sekarang. Biar ibu sendiri yang mengatakannya, aku nggak berhak!!” kata Vian yang sudah mulai terisak.

Reza yang sudah mulai tidak sabar mengahadapi Vian mulai berkata kepadanya:

“Apa, Vi, tolong katakan padaku. Aku mohon…” kata Reza lembut.

Sementara itu keluarga Reza sudah keluar dari kamar ibu Vian dengan wajah lesu. Reza merasa heran melihat semuanya. Dia berpikir pasti ada sesuatu yang penting yang terjadi di kamar ibu Vian. Namun belum sempat Reza berpikir, ibunya menghampirinya dan berkata kepadanya.

“Rez, sebaiknya kamu masuk ke kamar ibu Retno, dia ingin bicara denganmu,” sang ibu berkata kepadanya dengan wajah lesu.

Sebenarnya Reza ingin bertanya lebih jauh pada ibunya, tapi sang ibu memberikan isyarat kepadanya agar ia bergegas ke kamar ibu Retno.

Setelah masuk ke kamar, Reza mendapati Bu Retno tergolek diatas tempat tidur. Reza pun menghampirinya.

“Sungkem saya Bu, ada apa ibu memanggil saya kesini?” ujar Reza hormat.

Bu Retno terenyuh melihat kesantunan Reza, karena sebenarnya dalam hati ia masih menginginkan pemuda ini untuk menjadi menantunya.

“Rez, kau anak yang baik. Ibu ingin kau jadi anak ibu. Ibu sayang padamu, Nak!” Bu Retno berkata lembut kepadanya.

“Tapi, ada satu hal yang kamu harus tahu, pernikahan ini adalah keinginan ibu semata, dan sama sekali bukan keinginan Vian. Vian mau melakukan pernikahan ini karena ia nggak ingin menyakiti ibu. Baru saja dia memberitahu ibu bahwa ia nggak bisa meneruskan pernikahan ini, ia nggak mau menyakiti hatimu, ia benar-benar menyayangimu sebagai seorang kakak, karena kalian sudah saling kenal sejak kecil, ibu mohon pengertianmu, Rez. Ibu juga nggak mau menyakitimu, karena kamu sudah ibu anggap seperti anak ibu sendiri. Maafkan ibu karena sudah memaksamu sampai saat ini,” Bu Retno menjelaskan semuanya dengan terisak.

Ruangan hening seketika. Reza hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia terus berpikir apa yang seharusnya ia lakukan sekarang. Sementara itu Bu Retno masih terus terisak.

Akhirnya Reza angkat bicara.

“Ibu benar, saya juga salah dalam hal ini, kenapa saya mau menuruti apa kata Vian. Tapi semua juga saya lakukan demi kebahagiaan ibu.”

“Ibu tahu, karenanya maafkan ibu, Nak!” Bu Retno masih terus terisak.

Reza hanya bisa terdiam mendengar semuanya. Lalu ia pun bicara.

“Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bu?’

“Ibu sendiri yang akan menghadapi para tamu dan menjelaskan semuanya, kalaupun nanti masih ada orang yang mengungkit masalah ini, ibu harap kamu bisa menghadapinya,” Bu Retno berkata tegas.

“Baiklah, Bu, kalau begitu saya mohon diri” Reza pamit pada Bu Retno.

“Sekali lagi, maafkan ibu, Nak!” Bu Retno berkata dengan penuh penyesalan.

Reza pun meninggalkan kamar itu, ia keluar dengan kepala tertunduk. Ia tak mampu menatap wajah yang penuh tanya dari semua orang yang menatapnya. Bahkan ia tak mampu menatap wajah Vian yang ingin sekali bicara dengannya.

“Bu, saya ingin pergi dari sini, saya mohon pengertian ibu dan semuanya, saya harus pergi,” katanya dengan penuh harap.

            Vian yang ingin bicara banyak pada Reza, hanya bisa berdiam diri mendengar keputusannya. Ia mengerti, meskipun masih banyak hal yang harus diluruskan diantara mereka, ia harus memberi waktu bagi Reza dan dirinya sendiri untuk mengatasi masalah ini.

            Reza pun perlahan melangkah keluar dari rumah Vian. Ia tak peduli ada banyak pasang mata yang heran melihat ia melangkah keluar dari rumah itu. Untung, Reza masih membawa kunci mobilnya, sehingga ia bisa dengan cepat menghidupkan mesin mobilnya dan keluar dari rumah itu.

            Semua tamu masih memandang heran kepergian Reza, sebelum Bu Retno dengan tertatih-tatih melangkah keluar dari kamarnya. Ia dengan tegar menjelaskan semuanya, ia tak peduli lagi dengan gunjingan orang lain yang akan ia hadapi nanti, ia hanya ingin anaknya bahagia.

            Satu-persatu para tamu meninggalkan rumah Vian setelah mendengarkan penjelasan Bu Retno. Mereka hanya tak habis pikir kenapa semua ini bisa terjadi pada keluarga Bu Retno.

            Vian masuk ke kamarnya. Ia masih mendapati dirinya dibalut gaun pengantin putih itu. Ingin rasanya ia menangis mendapati kenyataan ini. Ia sudah melukai Mas Reza, salah satu hal terakhir yang ingin ia lakukan di dunia ini.  Mas Reza dalam ingatannya adalah orang paling baik yang pernah dikenalnya selama ini. Vian pun tersenyum ketika ia ingat masa kecilnya yang indah bersama Reza dan teman-temannya yang lain. Dimana mereka pernah bermain bersama, menangis bersama, bahkan pernah mencuri mangga bersama. Ingin rasanya Vian kembali ke masa itu, dimana ia tak pernah menemukan kesedihan ataupun harus menghadapi masalah yang besar seperti sekarang ini.

            Vian kembali menatap cermin di kamarnya, ia masih menemukan sebuah wajah yang pucat. Ia tak lagi menemukan sebuah wajah yang penuh keceriaan seperti yang dikenal orang selama ini, bahwa ia adalah seorang gadis yang periang yang tegar dan mandiri. Ia sendiri tak tahu kemanakah gerangan wajah itu pergi.

            Pelan-pelan ada orang yang membuka pintu kamarnya, Vian pun menoleh. Ia mendapati Raras, kakaknya yang sedang menatap dirinya.

            “Ada apa sebenarnya, Vi? Aku masih bingung,” tanyanya.

            “Aku nggak mampu cerita ke Mbak Raras. Mungkin besok kita punya waktu  yang lebih baik, sehingga ibu bisa cerita semuanya,” terang Vian.

            “Walaupun sebenarnya mbak masih bingung menghadapi semuanya, mbak yakin kamu sudah mengambil keputusan yang terbaik untukmu dan mbak akan selalu mendukung keputusanmu,” kata Mbak Raras bijak.

            Vian yang tersentuh mendengar ketulusan Mbak Raras, hanya bisa memeluknya erat-erat.

            “Terimakasih, Mbak,” ujarnya.

            Mbak Raras pun keluar dari kamarnya, meski masih dengan wajah yang penuh dengan tanda Tanya.

            Vian yang ditinggalkan pun masih termangu, malam ini masih panjang, malam yang seharusnya menjadi malam pertamanya ini harus ia lalui sendirian, yang ia sendiri tak yakin apakah ia mampu melewatinya dengan mata terpejam.

            Jam sudah berdentang empat kali sebelum akhirnya Vian berhasil memejamkan matanya. Namun ketika jam menunjukkan pukul enam pagi, Vian sudah tak bisa tidur lagi. Bahkan kakaknya pun sudah memulai aktivitas rumah tangga yang selama ini dikerjakannya. Ia melangkah keluar kamar dan menghampiri mbak Raras.

            “Mbak, biar aku saja yang melakukan semuanya,”pintanya.

            “Anggap saja tak ada hal besar yang terjadi padaku kemarin, dan aku ingin melalui hari ini seperti hari-hari sebelumnya,” terusnya.

            Mbak Raras yang mendengar kata-kata Vian langsung menoleh.

            “Kamu bener, nggak pa-pa?” rupanya mbak Raras masih khawatir padanya.

            Vian tersenyum, ia tersentuh dengan perhatian Mbak Raras yang ingin membantunya. Mbak Raras yang melihat senyuman itu yakin bahwa adiknya memang sudah berhasil melewati masalah itu semalam, walaupun belum seluruhnya, karena ia masih melihat ada bengkak di mata Vian, yang ia yakini sebagai akibat tangis Vian semalam.

            Tak lama kemudian, Bu Retno keluar dari kamarnya. Ia langsung memanggil mereka berdua. Mereka pun bicara panjang lebar di ruang keluarga. Selesai bicara, Bu Retno berkata pada Vian.

            “Vi, ibu mohon carilah Reza, kalian perlu bicara banyak. Ibu yakin kalian belum sempat bicara kemarin.”

            “Baiklah, Bu. Vian memang sudah berniat mencari mas Reza siang ini.”

            “Ibu yakin kamu tahu cara terbaik untuk menjelaskan semuanya pada Reza,” imbuhnya.

            Siang itu tepat pukul 11 siang, Vian pergi mencari Reza. Ia siap menghadapi apapun yang akan terjadi hari ini. Ia pun siap menerima caci-maki dari Reza maupun keluarganya.

            Ia pun tiba di depan rumah Reza dan langsung mengetuk pintunya.Pintu rumah itu pun terbuka dan ia menemukan Rama, adik Reza disana.

            “Rama, mas Reza ada? Mbak Vian ada perlu sebentar,” katanya lembut.

            Bocah kelas dua SLTP itu hanya tersenyum melihat kedatangan Vian.

            “Anu…mbak, Mas Rezanya udah pergi semalam,” katanya lugu.

            Vian kaget mendengarnya. Ia tak menyangka bahwa Reza akan pergi secepat itu, ia yakin pasti hatinya terluka karena perbuatannya kemarin.

            “Pergi kemana, Ram? Boleh mbak tahu?” tanyanya.

            Tiba-tiba muncul sesosok tubuh di balik pintu kamar depan, ternyata Bu Wida yang keluar dari kamar Reza.

            “Kemarilah,Vi, duduk di sini. Ram, pe-ernya tadi sudah selesai, walaupun ini hari libur tapi kamu tetep harus belajar, lho?” katanya kepada Rama.

            Rama hanya tersenyum dan langsung kembali ke kamarnya. Sepeninggal Rama, Vian pun duduk di kursi tamu.

            “Kamu cari Reza ya, Vi? Sayang sekali, dia sudah pergi, dia memutuskannya tadi malam, ibu sudah tak dapat mencegahnya lagi. Ibu juga inginnya kalian bicara dulu, semuanya harus dijelaskan. Tapi, ia menolak, dengan alasan ia ingin memenuhi panggilan kerja yang di Bali itu lho, kamu ingat kan?” kata Ibu Wida bijak.

            Vian ingat suatu ketika mas Reza pernah berkata kepadanya bahwa ia dipanggil kerja di  suatu perusahaan di Bali. Sebenarnya waktu itu mas Reza malas memenuhi panggilan itu, tapi sekarang itulah satu-satunya pilihan baginya saat ini. Vian ingin sekali menangis saat itu. Ia tak ingin mas Reza pergi. Ia harus bicara banyak padanya.

            “Kalau begitu, Bu, apakah ibu punya alamat atau nomor telponnya?” tanyanya.

            “Aduh, maaf sekali, Vi, Tadi malam sebenarnya ibu sudah minta sekalian nomor telponnya, tapi Reza menjawab kalau ibu tinggal menunggu telpon darinya. Seminggu lagi ia akan menelepon,” kata Bu Wida..

            Vian tertegun mendengar hal itu, jadi dia sudah benar-benar melukai mas Reza.

            “Tapi nggak pa-pa kok, Vi. Reza tegar kok menghadapi semuanya ini kalau ibu lihat dari raut mukanya semalam. Dia juga titip salam padamu dan dia minta maaf kalau dia pernah berbuat salah,” kata Bu Wida.

            “Enggak, Bu, harusnya saya yang meminta maaf pada mas Reza. Saya yang sudah berbuat salah,” ujar Vian penuh sesal.

            “Kalau begitu saya mohon diri dulu, Bu. Dan saya mohon kalau mas Reza telepon, tolong katakan kalau saya ingin minta maaf padanya, dan sekali lagi saya ingin mengetahui alamatnya di Bali,” terusnya.

“Baiklah, dan ingat satu hal Vian, kami sekeluarga tak pernah merasa marah ataupun menaruh dendam padamu. Kami semua mengerti semua alasanmu, dan kami tak punya hak sedikitpun untuk memaksamu, kamu mengerti?” Bu Wida berkata bijak.

Serta merta Vian memeluk Bu Wida yang membalasnya dengan penuh kasih.

“Terima kasih atas pengertiannya, Bu,” ujar Vian.

Vian pun meninggalkan rumah itu dengan perasaan sedikit lega, ia masih ingin bicara pada mas Reza.Tapi ia tak tahu harus menyusul mas Reza kemana. Ia tak tahu alamat tempat Reza tinggal.

Masih dengan langkah lunglai, Vian pun pulang ke rumah. Ibunya yang heran melihat kedatangannya, menyimpan keheranannya. Vian cepat-cepat menjelaskan semuanya, ia tak ingin ibunya berprasangka buruk padanya.

“Ya sudah, Vi, tapi kamu harus janji, nanti kalau kamu sudah tahu alamat  Reza, kamu harus cepat-cepat menyusulnya, tak peduli walau itu harus ke ujung dunia sekalipun,” kata Bu Retno.

Vian hanya tertegun mendengar kata-kata ibunya, ia tak menduga sama sekali bahwa ibunya begitu menyayangi Reza seperti ini. Ingin rasanya ia menangis, menyalahkan dirinya, kenapa ia tak dapat mencintai Reza sebagai seorang laki-laki, dan mengapa laki-laki sebaik itu harus pergi darinya.

“Baik, Bu. Vian berjanji akan menjelaskan semuanya pada mas Reza kalau kami bertemu lagi,” jawabnya.

Vian pun masuk ke kamarnya, ia ingin sendirian saat ini, ia ingin memikirkan Reza, betapa terlukanya Reza saat ini karena harga dirinya diinjak-injak oleh Vian di depan orang banyak, dia pasti juga marah padaku, begitu pikir Vian.

Sementara itu, yang dipikirkan sedang berada di dalam bus menuju Pulau Bali. Sejak tadi malam, Reza tak dapat memejamkan matanya barang sedetik pun. Pikirannya melayang pada hari Minggu siang saat Bu Retno bicara dengannya di kamar itu. Reza juga ingat saat ia menemukan mata Vian yang penuh tanda tanya saat ia keluar dari kamar ibunya. Ingin rasanya ia berlari memeluk Vian saat itu, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa ia pun mendukung semua keputusannya, bahwa ia tak marah kepadanya, meskipun hatinya tercabik-cabik, karena sebenarnya sudah lama ia memendam perasaan cinta untuknya. Reza tahu bahwa perasaan Vian padanya hanyalah perasaan sayang senagai seorang kakak, dan seorang teman karena mereka adalah teman bermain sejak kecil. Reza pun ingat saat Vian meminta tolong padanya untuk menikahinya demi permintaan ibunya yang sakit-sakitan, ia tak ingin ibunya tambah sedih karena menolak permintaan ibunya, yang mungkin menjadi permintaan ibunya yang terakhir itu. Hati Reza ingin melonjak saat itu, saat Vian meminta dirinya untuk menikahinya, walaupun cara seperti itu tidak lazim di negara timur seperti ini. Tapi Reza tak peduli, ia hanya ingin Vian menjadi miliknya. Namun, saat itu ia berhasil memendam kegembiraannya. Dan ia pun mengiyakan permintaan Vian dengan tenang. Tak ada senyuman yang keluar dari bibir Vian saat ia mendengar jawaban Reza. Ia hanya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Reza. Saat itu, yang ada di pikiran Reza hanyalah rasa gembira karena sebentar lagi Vian akan jadi miliknya. Ia tak memikirkan hal yang lain. Setelah Bu Retno mendengar jawaban Reza, maka persiapan pernikahan pun segera dilaksanakan, semuanya repot namun merasa bahagia, kecuali pengantin perempuannya, yang melaksanakan semuanya seperti sebuah robot yang dapat diatur sekenanya. Hingga tibalah hari yang sangat dinantikan Reza, yang ternyata berakhir bagaikan mimpinya yang paling buruk.

Bus itu akhirnya sampai ke terminal Ubud, Reza pun terhenyak dari lamunannya. Ia menoleh ke kanan kiri, ia sudah ditunggu Bayu, temannya SMU dulu yang tinggal di Bali. Semalam Reza sudah menghubunginya, dan ia berniat untuk menjemput Reza di terminal. Reza pun menemukan sosoknya yang duduk di atas kursi di ruang tunggu penumpang.

“Bayu, hoii!!” panggilnya keras-keras karena Bayu tak kunjung mendengar panggilannya.

Bayu pun menoleh ke arah suara yang didengarnya tadi. Ia pun menemukan sosok Reza yang tinggi itu berjalan ke arahnya. Mereka pun saling berpelukan.

“Gimana kabarnya, man? Wah, udah berapa lama nih, kita nggak ketemu, terakhir, kalau nggak salah pas kawinnya si Dedi itu ya?” ujar Bayu penuh semangat.

Reza pun tertawa. Ia senang dapat bertemu dengan sahabatnya yang satu ini. Ia memang sahabat yang paling baik yang ditemukannya sewaktu SMU. Ia ingat waktu mereka bersaing merebutkan perhatian Siska, cewek paling cantik di sekolah, tapi sekarang tak satupun dari mereka yang berhasil mendapatkannya.

Cerita itu juga yang menjadi salah satu bahan pembicaraan ketika Reza sudah sampai di rumah Bayu. Ia pun dikenalkan pada Indah, istri Bayu, dan Dony, anaknya.

“Gila, junior kamu udah segede ini? Perasaan dulu waktu itu kamu cerita lagi dalam taraf pe-de-ka-te sama Indah, sekarang hasilnya udah segede ini,” kata Reza setengah bergurau.

Indah yang mendengar perkataan Reza hanya bisa tersenyum. Namun Dony yang masih berumur dua tahun, itu diam saja, tak mengerti perkataan teman ayahnya. Bayu pun tertawa mendengarnya, ia tak berani membalas kata-kata Reza, ia sudah tahu latar belakang kedatangan Reza kemari, ia dengar ceritanya secara detil kemarin dari Reza yang meneleponnya tengah malam. Bahkan, saat ini Bayu masih dapat melihat gurat kesedihan yang ada di wajah Reza, walaupun Reza berusaha menutupinya.

“Ayolah, kita makan saja, itu makanan sudah tersedia. Pokoknya ditanggung enak, istriku jago masak, sambil ngomongin rencanamu disini,” ajak Bayu.

“Aku kan udah cerita kalau aku diterima di perusahaan itu, jadi aku mau memenuhi panggilan itu besok,” kata Bayu di meja makan.

“Kalau aku tak salah, perusahaan itu letaknya tak jauh dari sini. Jadi kalau kau mau, kau bisa tinggal disini,” tawar Bayu.

“Terima kasih, kalau aku tinggal disini, biaya kosnya terlalu mahal untukku. Sementara aku belum bekerja kan, uang sakuku cuma sedikit,” kata Reza bergurau.

“Sialan kamu, dari dulu tetep aja begini, nggak ada perubahannya,” balas Bayu.

“Oke, oke aku terima tawaranmu, sementara aku cari kontrakan disini. Kira-kira kamu tahu informasi rumah kontrakan di sekitar sini?” akhirnya Reza bisa berkata serius.

“Nanti aku carikan, nah, sekarang kamu pasti masih lelah. Istirahat dululah, itu di kamar tamu, istriku sudah menyiapkannya semalam,” kata Bayu.

Reza pun menuruti perkataan Bayu. Jiwa raganya memang masih lelah. Karena itu, begitu kepalanya menyentuh bantal, ia langsung tidur pulas. Bayu yang melihatnya menutup pintu kamar tamu itu.

Ia menemui istrinya yang baru saja menidurkan Dony di kamarnya.

“Kasihan ya Mas, kelihatannya dia begitu letih,” ujar istrinya.

“Iya, seperti yang kuceritakan tadi pagi, tujuannya kesini adalah untuk melupakan calon istrinya yang sudah menolaknya itu. Jadi, aku mohon jangan sekalipun ada diantara kita berdua yang mengungkit masalah itu di depannya, kecuali dia yang mau bercerita pada kita, OK?” Bayu memberikan pengertian pada istrinya.

“Ya sudah, aku berangkat ke kantor dulu, tadi aku harus minta ijin untuk menjemput Reza,” pamitnya pada Indah.

Bayu langsung meninggalkan rumahnya. Ia yakin Reza baru bangun sore nanti saat ia pulang dari kantor.

Benar saja, lima menit setelah Bayu pulang, Reza bangun dan mengucek-ucek matanya.

“Eh, halo, udah pulang ya? Sori tidurnya lama banget, soalnya ini badan nggak mau diajak kompromi biar bisa bangun cepet. Rasanya capek banget,” ujar Reza.

Bayu yang masih membuka tali sepatunya, hanya bisa tersenyum mendengar perkataan Reza. Ia ingat sewaktu dulu di SMU dulu, Reza adalah orang yang paling cepet tidur dan paling malas bangun pagi. Jadi, tetep nggak berubah ternyata, pikirnya.

“Udahlah, sekarang mandi dulu, biar seger. Tadi Indah minta diantar belanja kebutuhan Dony, jadi nanti sekalian kita jalan-jalan lihat Denpasar,” tawar Bayu.

Reza pun berpikir mungkin ini baik, sebagai suatu langkah awal untuk melupakan Vian, dan ia pun menyetujui usul Bayu.

Sementara itu, di Jogja, Vian kembali menekuni rutinitasnya sebagai seorang guru di SMU swasta. Ia tak mau berlarut-larut memikirkan Reza yang tak kunjung menghubunginya atau Bu Wida yang tak kunjung memberikan alamat maupun nomor telepon Reza. Reza juga melakukan hal yang sama, hari kedua setelah ia tiba di Bali, ia langsung datang ke kantornya, dan tanpa persyaratan yang terlalu berat, Reza pun diterima di perusahaan itu sebagai manajer bagian pemeliharaan mesin, dengan latar belakangnya sebagai insinyur mesin.

Reza dan Vian tekun melakukan rutinitas mereka di kantor mereka masing-masing, hingga tak terasa satu tahun sudah berlalu sejak kejadian hari Minggu siang itu. Sebenarnya Vian merasa bosan juga, karena setiap kali ia meminta alamat maupun nomor telepon Reza, Bu Wida selalu menjawab tidak tahu, karena memang begitulah keaadaannya. Reza benar-benar tidak mau alamat dan nomor teleponnya diketahui siapapun, termasuk ibunya, ia hanya menelepon ibunya untuk memberitahu keadaannya, namun setiap kali ibunya meminta nomornya, ia selalu menolaknya dengan halus. Reza tahu pasti ibunya akan memberitahu nomor teleponnya pada Vian. Bukannya ia ingin menjadi pengecut, namun karena ia merasa belum siap menghadapi semuanya, ia ingin menyepi, sehingga dapat mempersiapkan diri menghadapi Vian suatu hari nanti. Untungnya, dia dapat menyalurkan rasa sedihnya ke hal-hal yang positif, dan tidak berlarut-larut memikirkannya, hanya dalam waktu setahun, dia sudah diangkat menjadi General Manager di perusahaan itu berkat ketekunannya.

Waktu terus berganti, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun, bahkan enam tahun pun berlalu, tanpa sekalipun pulang menemui ibunya di Jogja. Ketika sore itu, Reza pulang dari kantor dan baru akan melepas tali sepatunya, tiba-tiba teleponnya berdering, ternyata Bayu.

“Halo, Reza? Ini aku, Bayu,” katanya terburu-buru.

“Iya-iya, aku sudah tahu, ada apa, kok kayaknya penting banget?” kata Reza heran.

“Tadi adikmu si Rama telpon aku, pasti dia menemukan nomor teleponku di kamarmu, kamu kan tak pernah memberi nomor telponmu pada ibumu,” katanya pada Reza.

“Mungkin saja, dulu aku punya buku alamat teman-teman SMU atau kuliahku yang kutumpuk bersama buku-buku bekasku di kamar,” kata Reza masih ingin tahu apa yang terjadi.

“Oh ya, mungkin saja. Enggak, tadi dia telepon aku, tapi kamu jangan kaget ya Rez, katanya ibumu sakit keras, dan sudah dibawa ke Panti Rapih,” kata Bayu menjelaskan duduk perkaranya.

Reza terdiam untuk beberapa saat. Aku harus pulang, pikirnya. Tapi, ia merasa belum siap menghadapi Vian. Tapi, ibunya sakit keras di rumah sakit. Ia tak tahu harus berbuat apa.

“Halo, halo, Rez, Reza, kamu masih disitu?” Bayu pun panik ketika Reza tak kunjung bicara.

“Iya, lalu aku harus bagaimana, Yu? Aku bingung!” akhirnya Reza bicara juga pada Bayu.

“Harus bagaimana, tentu saja kamu harus pulang. Tak peduli kamu sudah siap atau belum menghadapi Vian, semuanya harus kaulakukan sekarang. Kamu tak usah bingung mau naik apa, temui saja aku di bandara, nanti tiket untukmu sudah tersedia, OK?” kata Bayu.

“Tapi…,” Reza masih mencoba menyela.

“Tak ada kata tetapi lagi, dari dulu aku sudah menyuruhmu untuk mengambil cuti dan pulang ke Jogja, tapi kamu selalu menolaknya, kamu terus saja tenggelam dalam kesibukanmu. Sekaranglah saatnya, Rez, telponlah ke kantormu untuk minta ijin barang beberapa hari, OK? Nanti kita ketemu di bandara,” kata Bayu panjang lebar.

Maka, seperti sebuah robot, Reza melakukan semua yang dikatakan Bayu, ia mengepak kopornya, menelepon kantor dan perusahaan taksi agar mengantarnya ke bandara. Sesampai di bandara, ia mencari Bayu yang sudah berjanji akan membelikannya tiket pesawat.

“Rez,” panggil Bayu.

“Ini tiketnya, kamu bisa langsung masuk, semuanya sudah beres,” kata Bayu.

“Semuanya? Terima kasih banyak, Yu. Aku masih merasa bingung. Aku berhutang banyak padamu kali ini,” kata Reza berterimakasih.

“Sudahlah, kamu bisa membalasnya lain kali,yang penting kamu mempersiapkan dirimu dulu untuk menghadapi semuanya, Ok? Aku doakan semuanya lancar,” ujar Bayu.

“Terimakasih banyak sekali lagi. Aku akan secepatnya kembali kesini, setelah urusanku selesai,” kata Reza sekali lagi.

Setelah itu, Reza langsung masuk pesawat yang akan membawanya ke Jogja.

“Kudoakan semuanya sukses, kawan,” gumam Bayu.

Satu jam kemudian, Reza sudah ada di Adisucipto, ia menghela nafas dalam-dalam. Sekaranglah saatnya, pikirnya. Langsung dipanggilnya taksi, dan memintanya mengantarkannya ke Panti Rapih, ia tak mau pulang ke rumahnya, bahkan jika perlu ia ingin secepatnya kembali ke Pulau Bali, bila sudah melihat keadaan ibunya di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menuju ke ruang informasi untuk mengetahui kamar ibunya.. Ia langsung berlari ke Maria 3a, tempat ibunya dirawat. Tapi seperti melihat petir di siang hari, Reza melihat Vianlah yang menunggui ibunya. Wajah yang selalu ia rindukan selama enam tahun ini, kini ada di hadapannya. Ia tak bisa mengelak lagi ketika ibunya yang sudah mengetahui kedatangannya memanggilnya dengan lemah.

“Reza, akhirnya kau pulang juga, Nak,” suara ibunya terdengar begitu menyentuh hatinya.

Vian yang mendengar nama Reza disebut tak kalah kagetnya, karena sejak tadi ia tenggelam dalam novelnya, satu hal yang ia sukai sejak SMP. Badannya bergetar, dan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya bisa melihat Reza yang tiba-tiba saja memeluk ibunya erat-erat dan menangis di pelukan ibunya. Ia melihat perubahan dalam diri Reza. Ia tak lagi melihat Reza sebagai sahabatnya sewaktu kecil,ia melihat seorang laki-laki tampan yang ada di pelukan Bu Wida saat ini. Itulah Reza sekarang yang dulu pernah ia lukai hatinya.

“Terimakasih Tuhan, akhirnya Kau kabulkan juga doaku, aku rela jika saat ini Kau memanggilku. Reza sudah ada di pelukanku sekarang dan itu merupakan hadiah-Mu yang sangat berharga,” Bu Wida mengucap syukur.

“Maafkan aku, Bu. Semua salah Reza, seharusnya Reza bisa datang lebih cepat untuk menjenguk ibu, dan meminta maaf pada ibu,” ucap Reza penuh sesal.

“Nggak pa-pa, toh ibu sudah bisa memelukmu begini, itu semua sudah sangat ibu syukuri,” Bu Wida berkata bijak.

Akhirnya Bu Wida melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah Vian yang sejak tadi sudah ingin menangis mendengar pembicaraan mereka berdua.

“Vi, sini. Rez, kamu masih mengenali Vian kan? Dia tambah cantik sekarang, dia juga yang selalu merawat ibu setelah pulang mengajar, gantian sama Rama yang kuliah siang,” ajak Bu Wida.

Suasana kaku pun tercipta diantara mereka. Mereka tak tahu harus mulai darimana. Sebelum Bu Wida yang angkat bicara.

“Ayo Rez, sapalah dia, nggak usah malu, kayak belum kenal aja,” Bu Wida menyuruh Reza seperti anak kecil.

“Halo, Vi, apa kabar,” kata Reza kaku.

“Halo juga, baik. A…a….aku baik,” jawab Vian gugup.

Kalau Bu Wida tak ingat bahwa ia sedang sakit, ingin rasanya ia tertawa melihat mereka berdua. Ia pun ingat kejadian enam tahun yang lalu yang membuat Reza nekad pergi jauh, sebelum akhirnya menjadi general manager di perusahaan di Bali itu.

Reza dan Vian masih terdiam untuk beberapa saat, mereka berdua tak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya Reza yang angkat bicara,

“Bu, keadaan ibu sudah agak lumayan hari ini, memnag dokter yang merawat ibu bilang apa?” tanyanya.

“Dia bilang walaupun kolesterol ibu tinggi, ibu bisa dirawat di rumah, asal dengan perawatan yang teliti. Kemarin saja tiba-tiba ibu pingsan, sampai Rama harus mengaduk-aduk kamarmu untuk mencari alamat Bayu, temanmu SMA dulu,yang tinggal di Bali, bagaimana kabarnya, ibu sudah lama tak bertemu dengannya,” tanya ibunya.

“Baik, dia sudah beristri sekarang dan dua anak yang lucu-lucu,”jawab Reza pendek sembari melirik Vian yang ada di samping tempat tidur. Yang dilirik malah semakin menunduk, mungkin saja jika kejadian enam tahun lalu itu tak terjadi, mereka kini sudah menjadi keluarga yang bahagia dengan anak-anak yang lucu.

“Begini Bu, kalau ibu sudah bisa dirawat di rumah, sebaiknya saya langsung pulang ke Bali sekarang, karena saya tadi belum minta ijin untuk cuti, nanti kalau saya sudah bisa mengambil cuti, saya akan kembali ke Jogja secepatnya,” ujarnya sedikit berbohong.

“Sekarang? Bukankah kamu juga belum bertemu Rama, dia sekarang sudah besar, sudah kuliah di UGM, kamu nggak mau ketemu dia, dia pasti ingin ketemu kamu,” kata ibunya perlahan.

Belum selesai ibunya bicara, Reza sudah mendengar namanya dipanggil dari kejauhan, ternyata Rama, adiknya sedang berlari ke arahnya. Ingin rasanya Reza menangis saat itu, ia begitu merindukan adik satu-satunya ini, tak lama kemudian keduanya sudah berpelukan erat.

“Mas Rez, kenapa mas baru datang sekarang? Rama kangen banget, mas kok tega sih ninggalin Rama sendirian?” kata Rama setelah mereka selesai berpelukan.

“Kalau nggak mas Reza tinggalin, kamu nggak akan bisa sebesar ini dan bisa merawat ibu dengan baik seperti ini, ya kan?” ujar Reza setengah bergurau.

“Mbak Vi, kok nggak telepon aku sih kalau mas Reza udah datang, aku kan bisa secepatnya kesini, kalau perlu bolos kuliah,” kata Rama sedikit kesal.

Vian yang diprotes masih tak mampu berkata apapun, memang tadi Rama sudah berpesan untuk menghubunginya kalau Reza datang, tapi tadi ia terlalu terkejut bertemu dengan Reza, sampai ia lupa akan janjinya tadi.

“Sudahlah, begini Ram, mas Reza nggak bisa lama-lama di Jogja, hari ini aja, mas bolos dari kantor, kan nggak enak sama anak buah yang mas tinggalin, lagipula keadaan ibu sudah bagus” Reza rupanya benar-benar ingin segera pulang, ia benar-benar tak mampu untuk menghadapi Vian di sini.

“Sekarang, kenapa tidak minta ijin aja dari sini, mas kan bisa nelpon dari sini?” Rama masih sedikit ngotot.

“Nggak bisa, pekerjaan mas masih bertumpuk disana, besok kalau mas sudah bisa ngambil cuti, mas pasti kembali kesini, Ok? Nah, sekarang kamu antar mas ke bandara, mas harus balik ke Bali sekarang,” kata Reza tegas.

Ibunya hanya bisa melihat Reza dengan sedih, ia baru sadar betapa Reza sudah sangat terluka dan rupanya waktu masih belum dapat menyembuhkan lukanya.

“Ya sudah, kalau kamu sudah ingin pulang sekarang, tapi dengan satu syarat, kamu harus menulis alamat dan nomor telponmu di kertas ini, kalau kamu tetap tidak mau, ibu tak mengijinkan kau pergi,” Bu Wida berkata dengan tegas. Reza tertegun, mendengar perkataan ibunya. Akhirnya ia menuliskan alamat dan nomor telponnya di atas kertas itu. Setelah menulisnya ia pun berpamitan pada ibunya. Selesai berpamitan,ia hanya mendekati Vian untuk bersalaman. Sebenarnya Reza ingin memeluk Vian erat-erat dan mengatakan bahwa ia selalu mencintainya dan mau melakukan segalanya untuknya. Namun yang terjadi, Vian hanya membalas genggaman tangannya dengan kaku, dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Reza pun berpaling pada Rama yang langsung memeluknya. Sebenarnya, Reza tak akan pergi jika saat ini juga Vian memintanya untuk tidak pergi. Tapi Vian hanya diam seribu bahasa melihat Reza dan Rama.

“Baiklah, Bu, Vi, aku pulang dulu,” pamitnya.

Bu Wida ingin menangis melihat kepergian Reza, Vian juga ingin menjerit kenapa ia masih tak mampu berkata apapun di hadapan Reza, bahkan ketika Reza dan Rama mulai melangkah pergi meninggalkannya, Vian hanya mampu menangis, namun ia tak ingin Bu Wida mengetahuinya, lalu ia cepat-cepat menghentikannya.

            Akhirnya Bu Wida pun menangis melihat kepergian Reza, walaupun dinilainya Reza agak keterlaluan, tapi ia mengerti jika Reza tak ingin berlama-lama disini, semua karena Vian, dan Bu Wida pun menyadari betapa dalam perasaan cinta Reza terhadap Vian, sedalam lukanya yang ia dapat enam tahun yang lalu. Waktu yang berlalu tetap tak membuat Reza jatuh cinta cinta pada orang lain, padahal umurnya sudah mencapai tiga puluh dua tahun. Padahal jika Reza mau banyak gadis yang akan dengan sukarela menjadi istrinya. Bu Wida pun tak tahu apa yang terjadi pada kehidupan cinta Vian selama enam tahun ini, sepanjang yang ia tahu Vian pun tak punya pacar apalagi tunangan sampai umurnya yang kedua puluh delapan ini. Ia tak tahu apa yang terjadi padanya sampai ia tak mau punya pacar ataupun bertunangan seperti gadis lain.

Rama pun pulang dari bandara, akhirnya Vian mohon diri dan pamit pulang ke rumahnya. Sesampai di rumah, ia hanya bertemu dengan ibunya seperti biasa. Ibunya yang melihat kedatangannya langsung menyapanya.

“Pulang dari rumah sakit, Vi?” tanyanya.

“Iya, Bu,” jawab Vian.

“Bagaiman keadaannya, sudah baikkan?” tanya ibunya lagi.

“Baik,” jawab Vian pendek.

Ibunya yang melihat perubahan pada diri Vian yang aneh itu, bertanya lagi padanya.

“Ada apa denganmu Vi, ada yang salah?” tanya ibunya masih heran.

Vian tak kuat lagi menahan perasaannya, ia langsung berlutut menangis di pangkuan ibunya. Ibunya kaget ketika Vian tiba-tiba menangis.

“Ceritakan pada ibu, Nak, apa yang terjadi?” tanya ibunya dengan sabar.

Dengan sesenggukan, Vian pun bercerita pada ibunya.

“Tadi di rumah sakit, Vian bertemu mas Reza, Bu. Dia pulang ke Jogja untuk menemui ibunya, tapi begitu ia melihat Vian, mas Reza langsung minta ijin pulang karena keadaan Bu Wida sudah baikan. Bahkan kalau saja Rama tak muncul, mungkin mas Reza akan lebih cepat meninggalkan ibunya. Sebegitu dalamkah ia membenci Vian, Bu?”

Bu Retno kaget mendengar cerita Vian. Namun, ia sudah mengira kejadiannya akan berlangsung seperti ini, tapi kalau Reza cepat-cepat pulang ke Bali gara-gara melihat Vian, mungkin Vian benar Reza membencinya. Reza memang membenci Vian, dan kebenciannya itu berasal dari rasa sakit hatinya yang dalam akibat kejadian enam tahun yang lalu. Dari cerita Vian juga akhirnya, Bu Retno sadar kalau sebenarnya Reza sangat mencintai anaknya. Dalam hatipun ia juga merasa bersalah pernah meminta Reza untuk tidak meneruskan upacara pernikahannya denga Vian enam tahun yang lalu itu.

“Maafkan ibu, Vi. Ibu juga ikut bersalah,” kata ibunya.

Vian bingung mendengar kata-kata ibunya, lalu ia pun berkata pada ibunya.

“Ibu salah apa, Vian yang salah Bu, Vian yang tak bisa mencintai mas Reza sebagai seorang laki-laki. Vian tak tahu kalau semuanya akan berakhir seperti ini,” katanya lemah.

“Vi, apa kamu nggak sadar juga? Reza itu begitu membencimu karena ia begitu mencintaimu, ibu juga salah karena ibu menyuruhnya untuk menghentikan pernikahannya dengan wanita yang dicintainya enam tahun yang lalu. Ibu yakin dia pasti sangat terluka, karena ia begitu mencintaimu,” terang ibunya.

Vian seperti mendengar petir di siang hari, benarkah Reza mencintainya, jika itu benar, berarti ia sudah benar-benar melukainya dalam-dalam, yang benar-benar tak bisa disembuhkan selama enam tahun ini.

“Tapi bu, benarkah itu, mas Reza tak pernah mengatakannya pada Vian?” Vian yang masih bingung bertanya pada ibunya.

“Ibu juga tak mengerti tentang itu. Tapi yang pasti Reza tak mau mengatakannya sebelum pernikahannya dulu, karena ia yakin kau akan jadi miliknya, namun sekarang kenyataannya…,” kata ibunya lesu.

Vian masih juga terdiam, lalu ia beranjak masuk ke kamarnya. Ia tak tahu harus berkata apa, ia masih shock, ia benar-benar tak tahu bahwa Reza mencintainya. Dulu Vian mengira bahwa semua perhatian Reza kepadanya hanyalah perhatian seorang kakak pada adiknya, pernah suatu kali kakak kelasnya di SMU, Bayu mengatakan bahwa Reza naksir dirinya, tapi ia hanya menanggapi perkataan itu dengan gurauan seperti yang biasa dilakukannya, karena saat itu Vian sedang jatuh cinta pada Dody, teman sekelasnya.

Vian terus melamunkan semua hal yang pernah ia alami bersama Reza, semuanya berakhir pada kesimpulan ibunya bahwa Reza memang benar-benar mencintainya. Akhirnya Vian pun menangis menyesali apa yang pernah ia lakukan, mengingat bahwa ia dengan seenaknya sendiri memutuskan untuk tidak melanjutkan upacara pernikahannya dulu, tanpa menimbang bagaimana perasaan Reza waktu itu. Lama Vian menangis menyesali perbuatannya, yang menurutnya sangat tidak adil itu, Vian ingin minta maaf pada Reza, namun apakah kata maaf cukup untuk menghapuskan luka hati Reza, apalagi sampai sekarang boleh dibilang mereka belum ada kesempatan untuk berbicara berdua.

“Vi, tolong keluar sebentar, ibu ingin bicara,” kata ibunya perlahan di luar pintu.

“Ada apa Bu? Vian lagi ingin sendirian,” kata Vian lesu setelah membuka pintu kamarnya.

“Ibu tadi sudah memikirkan semuanya dan ibu ingin langsung bertanya padamu, kenapa kamu tak pernah jatuh cinta pada orang lain, karena sepengetahuan ibu, walaupun umurmu sudah dua puluh delapan, kau tak pernah cerita kalau kau merasa jatuh cinta pada seseorang, kecuali kalau kau memang tak pernah mengatakannya pada ibu?” tanya ibunya panjang lebar.

Vian tertegun mendengar perkataan ibunya, ia tak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Ia tak tahu harus berkata apa. Semuanya kembali kabur dalam ingatannya, dalam hati ia membenarkan perkataan ibunya, kenapa selama dua puluh delapan tahun ini ia tak pernah merasa jatuh cinta, dulu ia pernah jatuh cinta pada Dody, teman sekelasnya, namun itu boleh dibilang sebuah cinta monyet, cinta masa puber. Vian tak tahu apa sebabnya, ia benar-benar tak tahu.

Ibunya yang melihat kebengongan Vian, hanya bisa berkata,

“Sekarang, Vi, kembalilah ke kamarmu dan ibu mohon pelajarilah hatimu baik-baik, dan ibu yakin kamu akan menemukan jalan keluarnya jika kamu melakukannya dan berdoa pada-Nya supaya Ia membimbingmu,” kata ibunya bijak.

Vian yang masih tertegun hanya bisa menuruti perkataan ibunya, dan ia pun melangkah masuk ke kamarnya. Malam itu ia tak dapat tidur, ia terus-menerus memikirkan perkataan ibunya, untung besok ia tak ada jadwal mengajar, sehingga ia dapat dengan tenang memikirkan semuanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi, namun tetap saja Vian tak dapat memejamkan matanya, ia masih terus terjaga sampai pagi, namun tetap saja ia tak mau keluar kamar. Ibunya yang melihat kelakuannya hari itu memakluminya, bahkan ia tak mau mengganggunya barang sebentar.

Vian terus-menerus melamun, mempelajari hatinya, satu hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Saat jam dinding di rumahnya berdentang dua belas kali, Vian baru sadar kalau sejak kemarin ia belum makan, ia pun bergegas keluar kamar dan menemui ibunya di meja makan. Ibunya pun menyambutnya dengan senyuman.

“Bagaimana kabarmu hari ini, kamu sudah melakukan apa yang ibu katakan?” tanya ibunya perlahan.

“Sudah Bu,” jawabnya pendek.

“Ya sudah, sekarang makan dulu, semuanya sudah ibu siapkan. Kamu tinggal ambil nasinya di belakang,” suruh ibunya.

Vian pun melangkah ke dapur untuk mengambil nasi. Geli rasanya masuk dapur karena sudah lama ia tak masak semenjak ia sibuk mengajar sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jogjakarta dua bulan yang lalu. Tanpa sadar ia sudah terlalu lama di dapur, lalu ia melihat satu set gelas kristal yang dulu dibelinya bersama Reza untuk menambah koleksi  pajangan rumah mereka tadinya. Vian pun mengambil satu dari kardus yang diletakkan ibunya di dalam almari dapur. Seingatnya, dulu gelas itu  tak ada di situ, mungkin ibunya atau Mbok Nah yang mengambilnya dari gudang. Lama ia memandangi gelas itu, hingga tak sadar ibunya sudah berdiri di belakangnya.

“Kau ingat sesuatu, Vi?” tanya ibunya.

“Eh iya, Bu, kenapa gelas ini ada disini? Vian kan sudah menaruhnya di gudang,” Vian masih kaget dengan kehadiran ibunya.

“Ibu yang menaruhnya di situ, sayang kalau ditaruh di gudang, kan bisa dibersihin dan dipasang di buffet ibu,” jelas ibunya.

Vian tak menjawab perkataan ibunya, pikirannya melayang saat ia membelinya bersama Reza dulu. Meskipun Reza yang memilihnya, tapi Vian menyukai gelas-gelas itu, dan ia ingat bagaimana cerahnya wajah Reza saat itu, ia begitu bersemangat membeli gelas-gelas itu.

Saat Vian memandangi gelas kristal itu, ia pun teringat bahwa pada saat yang sama waktu itu, ia juga dibelikan cincin pertunangan yang bertuliskan nama Reza, ia lalu bergegas mencari ke kamarnya. Ibunya hanya heran melihat tingkah laku Vian, namun setelah mencari beberapa lama Vian tak kunjung menemukannya, ia sudah mengaduk-aduk seluruh kamarnya, tapi cincin itu tak kunjung ada.

“Cari apa, Vi?” tanya ibunya pendek.

“Anu Bu, Vian ingat dulu Vian punya cincin dari mas Reza, kemana sekarang Bu?” tanya Vian dengan nafas yang masih terengah-engah.

“Sudah ibu jual ke tukang emas waktu itu, kamu kan yang meminta ibu untuk menjualnya?” jelas ibunya.

Vian pun terduduk di atas tempat tidurnya dengan lesu, hilang sudah semuanya, begitu pikirnya. Ibunya yang heran melihat tingkah laku Vian bertanya kepadanya.

“Kenapa kamu baru mencarinya sekarang? Ibu sudah menjualnya enam tahun yang lalu,” kata ibunya.

“Vian juga tak tahu, Bu, tiba-tiba saja Vian ingat cincin itu dan sadar bahwa cincin itu sangat penting buat Vian,” kata Vian lemas.

“Kenapa tiba-tiba jadi sangat penting bagimu? Dulu-dulu kamu tak pernah mengingatnya apalagi menanyakannya?” ibunya heran.

Vian juga heran pada dirinya sendiri kenapa cincin itu tiba-tiba jadi sangat penting baginya.

“Kenapa Vi?” desak ibunya.

Vian tak bisa menjawab pertanyaan ibunya, ia hanya bisa terdiam.

“Kenapa Vi?” desak ibunya lagi.

Vian tetap terdiam, ia bingung harus berkata apa, tapi ibunya masih terus-menerus mendesaknya.

“Kenapa Vi? Ada apa katakan pada ibu,” desak ibunya lembut.

“Vian juga nggak tahu, Bu. Setelah ibu bertanya semalam kenapa Vian tak pernah jatuh cinta dan menyuruh Vian untuk mempelajari hati Vian, Vian merasa ada sesuatu yang berubah pada diri Vian. Vian merasa seperti ada suatu beban yang lepas dari hati Vian. Beban untuk terus-menerus bersikap menjadi seorang adik yang baik buat mas Reza,” katanya.

“Lalu?” tanya ibunya lagi.

“Vian pun memikirkannya tadi malam sampai Vian tak bisa tidur, apalagi sekarang waktu Vian ingat cincin itu padahal cincin itu sudah ibu jual, Vian akhirnya pada sampai pada satu kesimpulan,” kata Vian.

“Apa itu?” ibunya bertanya.

Vian memandang ibunya dan memeluknya erat-erat. Ibunya yang heran melihat kelakuan Vian pun memeluknya erat.

“Kau mencintai Reza?” tanya ibunya.

Vian hanya bisa menganggukkan kepalanya dan menangis.

“Terima kasih Bu, sudah menanyakan hal itu pada Vian tadi malam, dan terima kasih juga sudah menyuruh Vian untuk mempelajari hati Vian sendiri,” kata Vian sesenggukkan.

Ibunya pun menangis mendengar kata-kata Vian, lalu ia melepaskan pelukan Vian dan berjalan menuju kamarnya. Tak lama ibunya pun keluar dengan membawa sebuah bungkusan kecil dan berjalan mendekatinya.

“Apa itu, Bu?” tanya Vian heran.

“Bukalah,” jawab ibunya pendek.

Perlahan-lahan Vian membuka bungkusan itu dan menemukan cincin yang dicarinya tadi dengan susah payah.

“Ibu?” kata Vian heran.

“Ibu tak pernah membuangnya apalagi menjualnya, walaupun kau pernah memintanya, ibu selalu menyimpannya baik-baik di almari ibu,” kata ibunya.

“Tapi kenapa ibu tadi mengatakan kalau ibu sudah menjualnya?” tanya Vian bingung.

“Ibu hanya ingin kamu menguji hati kamu sendiri, dan merasakan pedihnya rasa kehilangan, seperti Reza yang kehilangan dirimu enam tahun yang lalu,” jelas ibunya.

“Tapi Bu, sekarang Vian juga sudah kehilangan mas Reza, dia begitu membenci Vian saat ini,” kata Vian putus asa.

“Kamu kan belum mencobanya Vi, kamu yang menoreh luka itu di hatinya, kamu juga yang harus menghapus luka itu dari hati Reza,” kata ibunya bijak.

“Tak ada tetapi-tetapian, kamu harus menyusul Reza ke Bali, bukankah kamu sudah punya alamatnya, dan soal cuti uruslah sekarang juga mumpung kantormu masih buka, kamu harus segera berangkat malam ini,” berondong ibunya.

Vian tertegun mendengar ucapan ibunya, tapi ia tak bisa berkata apapun, fisik dan pikirannya sudah terlalu lelah untuk menolak perkataan ibunya. Akhirnya ia menghubungi kantornya dan mengatakan bahwa ia akan mengambil cuti selama lima hari, untungnya kantornya mengijinkannya, dan memberikan cuti selama lima hari. Vian pun lalu menelepon kantor reservasi tiket untuk memesan tiket ke Bali dan untungnya kemarin Vian sudah mencatat alamat Reza di Bali sewaktu di rumah sakit. Setelah memastikan tiketnya, Vian pun segera mengepak bajunya ke dalam koper.

Tepat jam 6 sore, taksi yang menjemput Vian sudah ada di depan rumahnya.

“Bu, Vian pamit dulu. Doakan Vian bu, semoga semuanya berjalan dengan lancar sesuai harapan ibu dan harapan Vian sendiri,” pamit Vian.

“Selalu Vi, ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu, hati-hati di jalan ya,” pesan ibunya.

Vian pun masuk ke dalam taksi yang akan membawanya ke bandara, setelah mengurus semuanya, Vian pun masuk ke dalam pesawat.

Sementara di Bali. Reza sudah berada di rumahnya, ia lelah sekali hari ini, pekerjaannya bertumpuk karena kemarin ia sempat meminta ijin cuti sehari untuk pergi menengok ibunya. Sendirian di rumah memang tak enak, tak ada seseorang yang menyambutnya sewaktu ia pulang, tak ada yang menyiapkan makan malam untuknya, apalagi Reza tinggal di sebuah rumah besar, seperti rumahnya sekarang ini. Ia baru akan masuk kamar mandi ketika ia mendengar ketukan di pintu depan. Reza pun berjalan ke arah ruang tamu. Pasti Bayu, pikirnya, namun yang ditemukannya adalah seraut wajah yang selama ini selalu ia rindukan siang dan malam.

“Vian?” kata Reza ragu-ragu karena tak mempercayai penglihatannya sendiri.

“Iya mas, apa kabar?” tanya Vian gemetar.

“Sama siapa kamu kesini?” tanya Reza sambil melongokkan wajahnya ke luar pintu.

“Sendirian,” jawabnya pendek.

Ingin rasanya Vian memeluk Reza erat-erat mengatakan bahwa ia sangat mencintainya dan memohon padanya untuk memaafkan kesalahannya.

“Masuk-masuk Vi, maaf rumahku berantakan, maklum rumah bujangan,” katanya bergurau untuk menutupi kegugupannya berhadapan dengan Vian.

Vian pun duduk di sofa itu, ia sendiripun gugup menghadapi Reza, ini pertama kalinya mereka bicara berdua, setelah enam tahun, setelah upacara pernikahan mereka yang gagal.

Mereka berdua pun terdiam untuk beberapa lama, tak ada yang memulai pembicaraan. Ruang tamu itupun sunyi senyap mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Akhirnya Vian yang mulai bicara.

“Aku ke sini untuk minta maaf, mas, kita baru bisa bicara sekarang, setelah enam tahun, maafkan aku mas, kalau mungkin ada sejuta kata maaf di dunia ini, aku akan mengucapkan semuanya supaya mas memaafkan aku,” kata Vian yang sudah mulai menangis.

Akhirnya Reza tak tahan sendiri, ia langsung mendekati Vian dan memeluknya erat. Sebenarnya kata maaf itu sudah ada sejak dulu, ia hanya merasa bahwa ia belum siap menghadapi Vian.

“Aku sudah memaafkanmu, Vi, hanya saja aku belum siap menghadapimu, tak ada rasa benci di hatiku, semua ini terjadi karena ketololanku semata,” katanya.

Vian pun membalas pelukan Reza, ia begitu merindukan pelukan ini dan tak mau melepaskannya.

“Maafkan aku sekali lagi, mas, aku yang salah bukan kamu,” isaknya.

“Sudahlah, Vi, semuanya sudah kita lalui, dan kita akan kembali menjadi sepasang kakak adik yang baik nantinya,” Reza masih saja menutupi perasaannya sendiri, sambil melepaskan pelukannya.

Vian tertegun mendengar kata-kata Reza, tidak, pikirnya, semuanya harus diselesaikan sekarang. Vian pun membuka koper dan mengambil gelas kristal yang ditemukannya tadi siang.

“Masih ingat ini mas?” Vian pun menunjukkan gelas itu pada Reza.

Reza kaget melihat tingkah laku Vian, ia pun berkata padanya.

“Apa maksudmu, Vi, tentu saja aku ingat gelas itu, itu kan kita beli sewaktu kita mempersiapkan pernikahan kita, saat itu aku begitu ba…,” Reza tak melanjutkan kalimatnya.

“Kau begitu apa, mas?” desak Vian.

“Sudahlah, Vi, tentunya kau sudah lelah, aku akan menyiapkan kamar untukmu,” Reza mengalihkan pembicaraan.

“Enggak mas, aku harus tahu sekarang apa lanjutan kalimatmu tadi,” desak Vian lagi.

“Sudahlah, ayo,” Reza masih tak berani mengakui perasaannya sendiri.

“Katakan padaku mas, aku ingin tahu sekarang,” desaknya bertubi-tubi.

“Kenapa Vi, kenapa kau begitu ingin mengetahuinya? Itu kan nggak penting buatmu?” tanya Reza heran.

“Kau salah mas, ini sangat penting buatku, aku harus tahu,” Vian masih mendesak Reza.

“Kenapa?” tanya Reza pendek.

“Pokoknya aku harus tahu, teruskan kata-katamu tadi mas,” pinta Vian.

“Baiklah, waktu kita membeli gelas, itu aku… merasa… sangat… bahagia,” katanya setengah gugup.

“Kenapa kau begitu bahagia mas, katakan padaku?” Vian masih mendesaknya.

Reza yang sudah telanjur bicara, akhirnya meneruskannya.

“Karena aku begitu mencintaimu, Vi, sejak dulu, sejak kita masih remaja, aku takut mengatakannya padamu karena kau hanya menganggapku sebagai kakak, karena itu begitu kau memintaku untuk menikahimu, walaupun itu demi ibumu, aku mau Vi, karena kau akan jadi milikku, meskipun secara pribadi kau tak pernah menginginkannya,” aku Reza, melepas beban berat yang terus menghimpitnya selama ini.

Vian yang mendengar jawaban Reza serta merta memeluknya, akhirnya Reza mau mengakui perasaannya sendiri. Reza yang kaget melihat reaksi Vian juga memeluknya erat seakan tak mau melepaskannya.

“Benar mas apa kata ibuku, kau memang mencintaiku, kau begitu terluka karena kau begitu mencintaiku, kenapa kau tak mengatakannya sejak dulu? Aku begitu dalam melukaimu, seorang laki-laki yang paling baik dalam hidupku,” kata Vian.

Reza masih memeluk Vian, ia ingin selamanya begini.

“Dan kau salah mas, aku peduli pada perasaanmu, aku harus tahu apakah kau masih mencintaiku, karena sewaktu aku melihatmu di rumah sakit aku tahu kau begitu membenciku,” katanya.

“Aku tak pernah membencimu, aku hanya belum siap menghadapimu, setelah semua yang telah kita alami,” katanya.

“Semuanya sudah jelas bagiku, dan sekarang giliranku untuk mengatakan sesuatu,” kata Vian sambil melepaskan pelukan Reza. Ia pun mengambil bungkusan kecil dari tasnya dan membukanya.

“Bukalah mas,” katanya pendek.

Perlahan Reza membukanya dan menemukan cincin perkawinannya dulu, disitu masih tertulis namanya, lalu bertanya pada Vian.

“Kau masih menyimpannya, Vi?” tanyanya heran.

“Bukan aku, ibu yang menyimpannya, dulu aku memintanya untuk menjual cincin itu, tapi jangan marah dulu mas, aku tak mau melihatnya, karena aku tak mau mengingat kenangan buruk itu selamanya, tapi saat aku mencarinya lagi, ibu mengatakan bahwa ia sudah menjualnya, saat itu aku baru merasakan rasa kehilangan, tapi saat ibu mengatakan bahwa ia masih menyimpannya, aku begitu bahagia bisa menemukannya,” terangnya.

“Kenapa kau mencarinya lagi? Dan kenapa kau begitu bahagia setelah ibu mengatakan bahwa ia masih menyimpannya?” tanya Reza sekaligus.

Vian menatap mata Reza, mata itu menjanjikan kebahagiaan untuknya, kalau Reza bisa mencintainya selama itu, kenapa ia tak bisa membalasnya walaupun itu baru dirasakannya semalam. Sekaranglah saatnya untuk jujur pada perasaannya sendiri.

“Begini mas ceritanya, waktu aku pulang dari rumah sakit setelah aku melihatmu, aku begitu sedih karena aku mengira kau begitu membenciku, ibu yang melihatku pun bertanya kepadaku, lalu aku menceritakan semua, ibu pun mengatakan bahwa kau begitu terluka karena kau begitu mencintaiku, aku kaget mendengarnya, lalu semalaman aku memikirkan semua hal yang pernah kita alami bersama, dan aku sampai pada satu kesimpulan bahwa kau memang mencintaiku. Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa, atpi ibu menyuruhku untuk mempelajari hatiku sendiri dan ketika aku masuk dapur aku melihat gelas ini dan tiba-tiba ingat bahwa kau membelikan cincin pertunangan itu bersamaan dengan gelas itu, aku pun mencarinya, dan seperti yang kuceritakan tadi,” kata Vian panjang lebar.

“Lalu, apa hasilnya,” kata Reza pendek.

“Semua hal yang kupikirkan semalam juga telah membuka mataku dan melepaskan beban berat yang selama ini ada di hatiku, bahwa aku harus selalu menjadi seorang adik yang baik bagimu, dan semalam setelah melepas beban itu, aku jadi sadar bahwa sebenarnya aku juga mencintaimu meskipun aku tak menyadarinya,” katanya.

Serta merta Reza memeluk Vian, ia sangat bahagia, Vian yang begitu ia dambakan siang dan malam kini mencintainya, walaupun mungkin kadar cinta itu masih belum banyak, tapi Reza yakin itu akan berkembang nantinya.

Vian juga membalas pelukan Reza, tak lama kemudian Reza pun melepaskan pelukannya.

“Terima kasih Vi, aku sangat bahagia malam ini,” kata Reza sambil menatap Vian. Vian pun tersenyum, akhirnya Reza tak tahan lagi didekatkannya wajahnya ke wajah Vian, dan perlahan menciumnya dengan hangat, Vian pun membalas ciuman itu sama hangatnya, dan melingkarkan tangan ke tengkuk Reza dengan erat. Akhirnya semua tembok penghalang diantara mereka pun runtuh. Semua kebahagiaan telah mereka rengkuh, walaupun jalan untuk menuju kesana sangat panjang dan berliku.

“Vi, sejak kapan kau mencintai diriku?” tanya Reza setelah mereka selesai berciuman.

“Sejak semalam, sejak ibu memintaku untuk mempelajari hatiku, saat itu pula aku mulai membukanya secara perlahan,” kata Vian sambil menatap Reza.

“Kita harus merayakan ini, tapi malam ini aku lihat kau benar-benar lelah malam ini, sebaiknya kau beristirahat di kamarku, dan calon istriku tak boleh menolak kali ini,” kata Reza sembari mengangkat Vian dalam gendongannya. Vian yang kaget hanya bisa meronta di gendongan Reza.

“Lalu, kau tidur dimana mas?” tanyanya.

“Di sofa pun jadi, nanti gampang, dan besok aku pengen ijin kerja, aku ingin mengantar permaisuriku keliling Pulau Bali,” canda Reza setelah meletakkan Vian di atas tempat tidur.

“Benar nggak pa-pa? Nanti pekerjaanmu berantakan gara-gara aku ada disini, aku kan nggak mau merusak acaramu di kantor,” tanya Vian.

“Untukmu, semua akan kulakukan, aku nggak peduli dengan pekerjaanku besok, kalau perlu aku akan lembur lusa, biar semua selesai, wanita yang ada di hadapanku ini terlalu sayang untuk ditelantarkan besok, apalagi wanita itu sudah jadi milikku sekarang. Lalu, lusa aku akan minta cuti, dan kita pulang ke Jogja untuk menikah, kau setuju?” Reza berkata dengan mata yang berbinar.

Vian tersenyum mendengar perkataan Reza, sekarang ia yakin bahwa pilihannya kali ini tepat dan ia pun tak mau menundanya, pernikahan ini bahkan sudah tertunda selama enam tahun, dan Vian tak mau menggagalkannya lagi. Dengan mata yang bersinar pula, Vian menjawab pertanyaan Reza.

“Iya mas, aku setuju, dan aku pun berjanji kali ini aku tak akan menggagalkannya,” janjinya.

“Oh iya, mas, satu lagi, aku tak mau gaun pengantin yang baru, aku ingin memakai gaun pengantin yang dulu, aku tak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis, sehingga dana untuk gaun itu bisa kita alihkan ke hal yang lain, kau setuju?” lanjutnya.

“Apapun yang kau mau, aku akan menyetujuinya, karena aku sudah terlalu lama menunggu saat-saat seperti ini,” katanya sembari mencium Vian lagi.

“Stop mas, aku takut nanti kita tak bisa mengendalikan diri kita,” elak Vian.

“Baiklah, tapi kau tak boleh menolakku lagi di malam pengantin kita,”  katanya.

“Aku janji mas, aku mencintaimu,” ujarnya mesra.

“Aku juga sangat mencintaimu,” balas Reza tak kalah mesranya.

Sebulan kemudian mereka menikah, gaun pengantin itu telah menjadi saksi sebuah perjalanan cinta yang sangat panjang yang harus ditempuh oleh sepasang manusia yang berakhir dengan bahagia.

 

 

 

HOME